Powered By Blogger

Sabtu, 10 Maret 2012

Klasifikasi Filsafat


1.  Klasifikasi Filsafat 
Di seluruh dunia, banyak orang yang menanyakan pertanyaan 
yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan 
banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa 
diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini 
filsafat biasa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan 
“Filsafat Islam”. 
Filsafat Barat 
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis 
di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. 
Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. 
Menurut Takwin (2001) dalam pemikiran barat konvensional 
pemikiran yang sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk 6
pengertian yang ketat dan harus mengandung kebenaran logis. Misalnya 
aliran empirisme, positivisme, dan filsafat analitik memberikan kriteria 
bahwa pemikiran dianggap filosofis jika mengadung kebenaran 
korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni sebuah pengetahuan  
dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan empiris. Contoh 
jika pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar jika indra kita 
menangkap hujan turun, jika kenyataannya tidak maka pernyataannya 
dianggap salah. Koherensi berarti sebuah pernyataan dinilai benar jika pernyataan 
itu mengandung koherensi logis (dapat diuji dengan logika barat). 
Dalam filsafat barat secara sistematis terbagi menjadi tiga bagian 
besar yakni: (a) bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being), (b) 
bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistimologi dalam arti luas), 
(c) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai menentukan apa yang 
seharusnya dilakukan manusia (aksiologi). 
 Beberapa tokoh dalam filsafat barat yaitu:  
1. Wittgenstein mempunyai aliran analitik (filsafat analitik) yang 
dikembangkan di negara-negara yang berbahasa Inggris, tetapi 
juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik menolak setiap 
bentuk filsafat yang berbau  ″metafisik”. Filsafat analitik menyerupai 
ilmu-ilmu alam yang empiris, sehingga kriteria yang berlaku 
dalam ilmu eksata juga harus dapat diterapkan pada filsafat. 
Yang menjadi obyek penelitian filsafat analitik sebetulnya bukan 
barang-barang, peristiwa-peristiwa, melainkan pernyataan, 
aksioma, prinsip. Filsafat analitik menggali dasar-dasar teori ilmu 
yang berlaku bagi setiap ilmu tersendiri. Yang menjadi pokok 
perhatian filsafat analitik ialah analisa logika bahasa sehari-hari, 
maupun dalam mengembangkan sistem bahasa buatan. 
2. Imanuel Kant mempunyai aliran atau filsafat ″kritik” yang tidak 
mau melewati batas kemungkinan pemikiran manusiawi. 
Rasionalisme dan empirisme ingin disintesakannya. Untuk itu ia 
membedakan akal, budi, rasio, dan pengalaman inderawi. 
Pengetahuan merupakan hasil kerja sama antara pengalaman 
indrawi yang aposteriori dan keaktifan akal, faktor priori. 
Struktur pengetahuan harus kita teliti. Kant terkenal karena tigatulisan: 
(1) Kritik atas rasio murni, apa yang saya dapat ketahui. 
Ding an sich, hakikat kenyataan yang dapat diketahui. Manusia 
hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal 
terus ditampung oleh dua wadah pokok, yakni ruang dan waktu. 
Kemudian diperinci lagi misalnya menurut kategori sebab dan 
akibat dst. Seluruh pengetahuan kita berkiblat pada Tuhan, jiwa, 
dan dunia. (2) Kritik atas rasio praktis, apa yang harus saya buat. 
Kelakuan manusia ditentukan oleh kategori imperatif, keharusan 
mutlak: kau harus begini dan begitu. Ini mengandaikan tiga 
postulat: kebebasan, jiwa yang tak dapat mati, adanya Tuhan.
 (3) Kritik atas daya pertimbangan. Di sini Kant membicarakan 
peranan perasaan dan fantasi, jembatan antara yang umum dan 
yang khusus. 
3. Rene Descartes. Berpendapat bahwa kebenaran terletak pada diri 
subyek. Mencari titik pangkal pasti dalam pikiran dan 
pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu alam. Metode untuk 
memperoleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu. Hanya 
satu kenyataan tak dapat disangsikan, yakni aku berpikir, jadi aku 
ada. Dalam mencari proses kebenaran hendaknya kita 
pergunakan ide-ide yang jelas dan tajam. Setiap orang, sejak ia 
dilahirkan, dilengkapi dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai 
adanya Tuhan dan dalil-dalil matematika. Pandangannya tentang 
alam bersifat mekanistik dan kuantitatif. Kenyataan dibaginya 
menjadi dua yaitu: “res extensa dan res copgitans”.
Filsafat Timur 
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di 
Asia, khususnya di India, Tiongkok, dan daerah-daerah lain yang pernah 
dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya 
hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa 
dikatakan untuk filsafat barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di 
Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Namanama beberapa filosof: Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi, dan lain-lain. 
Pemikiran filsafat timur sering dianggap sebagai pemikiran  yang 
tidak rasional, tidak sistematis, dan tidak kritis. Hal ini disebabkan 
pemikiran timur lebih dianggap agama dibanding filsafat. Pemikiran 
timur tidak menampilkan sistematika seperti dalam filsafat barat. 
Misalnya dalam pemikiran Cina sistematikanya berdasarkan pada 
konstrusksi kronologis mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya 
manusia dijalin secara runut (Takwin, 2001). 
Belakangan ini, beberapa intelektual barat telah beralih ke filsafat 
timur, misalnya Fritjop Capra, seorang ahli fisika yang mendalami 
taoisme, untuk membangun kembali bangunan ilmu pengetahuan yang 
sudah terlanjur dirongrong oleh relativisme dan skeptisisme (Bagir, 
2005). Skeptisisme terhadap metafisika dan filsafat dipelopori oleh Rene 
Descartes dan William Ockham. 
Filsafat Islam 
Filsafat Islam ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. 
Sebab dilihat dari sejarah, para filosof dari tradisi ini sebenarnya bisa 
dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat (Yunani).   
Terdapat dua pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam 
terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga 
saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar 
filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang 
disalin oleh St. Agustine (354–430 M), yang kemudian diteruskan oleh 
Anicius Manlius Boethius (480–524 M) dan John  Scotus. Pendapat 
kedua menyatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat orang-orang 
Yunani dari buku-buku filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke 
dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi.  
Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, 
karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti  Isagoge,
Categories, dan  Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi 
bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah 
menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara.  Selanjutnya dikatakan 
bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber 
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan 
menyalin kembali buku  Organon karangan Aristoteles dari terjemahanterjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh  filosof Islam 
(Haerudin, 2003). 
Majid Fakhri cenderung mengangap filsafat Islam sebagai mata 
rantai yang menghubungkan Yunani dengan Eropa modern. Kecenderungan ini 
disebut europosentris yang berpendapat filsafat Islam telah berakhir sejak 
kematian Ibn Rusyd. Pendapat ini ditentang oleh Henry Corbin dan Louis 
Massignon yang menilai adanya eksistensi filsafat Islam. Menurut 
Kartanegara (2006) dalam filsafat Islam ada empat aliran yakni:  
1. Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan 
Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya 
ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau 
epistimologis adalah menggunakan logika formal yang 
berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang 
kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: 
Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn 
Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din Thusi (w.1274). 
2. Aliran Iluminasionis (Israqi).  Didirikan oleh pemikir Iran, 
Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Aliran ini memberikan tempat 
yang penting bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini 
terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya 
sebagai satu-satunya realitas sejati (nur al anwar), cahaya di atas 
cahaya.
3. Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman 
mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional 
bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada 
hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.    
4. Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden).  Diwakili
oleh seorang filosof syi’ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya 
Qawami yang dikenal dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau 
yang dikenal dengan Mulla Shadra yaitu seorang filosof yang 
berhasil mensintesiskan ketiga aliran di atas. Dalam Islam  ilmu merupakan hal yang sangat dianjurkan. Dalam 
Al Quran kata  al-ilm dan kata-kata jadiannya digunakan lebih 780 kali. 
Hadis juga menyatakan mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim. 
Dalam pandangan Allamah Faydh Kasyani dalam bukunya Al Wafi: ilmu 
yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah ilmu yang mengangkat 
posisi manusia pada hari akhirat, dan mengantarkannya pada pengetahuan 
tentang dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, pemimpin Islam, 
sifat Tuhan, hari akhirat, dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada 
Allah.
Dalam pandangan keilmuan Islam, fenomena alam tidaklah 
berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa ilahi. Mempelajari 
alam berarti akan mempelajari dan mengenal dari dekat cara kerja Tuhan. 
Dengan demikian penelitian alam semesta (jejak-jejak ilahi) akan 
mendorong kita untuk mengenal Tuhan dan menambah keyakinan 
terhadapnya. Fenomena alam  bukanlah realitas-realitas independen 
melainkan tanda-tanda Allah SWT. Fenomena alam adalah ayat-ayat 
yang bersifat qauniyyah, sedangkan kitab suci ayat-ayat yang besifat 
qauliyah. Oleh karena itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi 
yang mulia sebagai obyek ilmu.  

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons