1. Klasifikasi Filsafat
Di seluruh dunia, banyak orang yang menanyakan pertanyaan
yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan
banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa
diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini
filsafat biasa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan
“Filsafat Islam”.
Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis
di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka.
Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno.
Menurut Takwin (2001) dalam pemikiran barat konvensional
pemikiran yang sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk 6
pengertian yang ketat dan harus mengandung kebenaran logis. Misalnya
aliran empirisme, positivisme, dan filsafat analitik memberikan kriteria
bahwa pemikiran dianggap filosofis jika mengadung kebenaran
korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni sebuah pengetahuan
dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan empiris. Contoh
jika pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar jika indra kita
menangkap hujan turun, jika kenyataannya tidak maka pernyataannya
dianggap salah. Koherensi berarti sebuah pernyataan dinilai benar jika pernyataan
itu mengandung koherensi logis (dapat diuji dengan logika barat).
Dalam filsafat barat secara sistematis terbagi menjadi tiga bagian
besar yakni: (a) bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being), (b)
bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistimologi dalam arti luas),
(c) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai menentukan apa yang
seharusnya dilakukan manusia (aksiologi).
Beberapa tokoh dalam filsafat barat yaitu:
1. Wittgenstein mempunyai aliran analitik (filsafat analitik) yang
dikembangkan di negara-negara yang berbahasa Inggris, tetapi
juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik menolak setiap
bentuk filsafat yang berbau ″metafisik”. Filsafat analitik menyerupai
ilmu-ilmu alam yang empiris, sehingga kriteria yang berlaku
dalam ilmu eksata juga harus dapat diterapkan pada filsafat.
Yang menjadi obyek penelitian filsafat analitik sebetulnya bukan
barang-barang, peristiwa-peristiwa, melainkan pernyataan,
aksioma, prinsip. Filsafat analitik menggali dasar-dasar teori ilmu
yang berlaku bagi setiap ilmu tersendiri. Yang menjadi pokok
perhatian filsafat analitik ialah analisa logika bahasa sehari-hari,
maupun dalam mengembangkan sistem bahasa buatan.
2. Imanuel Kant mempunyai aliran atau filsafat ″kritik” yang tidak
mau melewati batas kemungkinan pemikiran manusiawi.
Rasionalisme dan empirisme ingin disintesakannya. Untuk itu ia
membedakan akal, budi, rasio, dan pengalaman inderawi.
Pengetahuan merupakan hasil kerja sama antara pengalaman
indrawi yang aposteriori dan keaktifan akal, faktor priori.
Struktur pengetahuan harus kita teliti. Kant terkenal karena tigatulisan:
(1) Kritik atas rasio murni, apa yang saya dapat ketahui.
Ding an sich, hakikat kenyataan yang dapat diketahui. Manusia
hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal
terus ditampung oleh dua wadah pokok, yakni ruang dan waktu.
Kemudian diperinci lagi misalnya menurut kategori sebab dan
akibat dst. Seluruh pengetahuan kita berkiblat pada Tuhan, jiwa,
dan dunia. (2) Kritik atas rasio praktis, apa yang harus saya buat.
Kelakuan manusia ditentukan oleh kategori imperatif, keharusan
mutlak: kau harus begini dan begitu. Ini mengandaikan tiga
postulat: kebebasan, jiwa yang tak dapat mati, adanya Tuhan.
(3) Kritik atas daya pertimbangan. Di sini Kant membicarakan
peranan perasaan dan fantasi, jembatan antara yang umum dan
yang khusus.
3. Rene Descartes. Berpendapat bahwa kebenaran terletak pada diri
subyek. Mencari titik pangkal pasti dalam pikiran dan
pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu alam. Metode untuk
memperoleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu. Hanya
satu kenyataan tak dapat disangsikan, yakni aku berpikir, jadi aku
ada. Dalam mencari proses kebenaran hendaknya kita
pergunakan ide-ide yang jelas dan tajam. Setiap orang, sejak ia
dilahirkan, dilengkapi dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai
adanya Tuhan dan dalil-dalil matematika. Pandangannya tentang
alam bersifat mekanistik dan kuantitatif. Kenyataan dibaginya
menjadi dua yaitu: “res extensa dan res copgitans”.
Filsafat Timur
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di
Asia, khususnya di India, Tiongkok, dan daerah-daerah lain yang pernah
dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya
hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa
dikatakan untuk filsafat barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di
Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Namanama beberapa filosof: Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi, dan lain-lain.
Pemikiran filsafat timur sering dianggap sebagai pemikiran yang
tidak rasional, tidak sistematis, dan tidak kritis. Hal ini disebabkan
pemikiran timur lebih dianggap agama dibanding filsafat. Pemikiran
timur tidak menampilkan sistematika seperti dalam filsafat barat.
Misalnya dalam pemikiran Cina sistematikanya berdasarkan pada
konstrusksi kronologis mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya
manusia dijalin secara runut (Takwin, 2001).
Belakangan ini, beberapa intelektual barat telah beralih ke filsafat
timur, misalnya Fritjop Capra, seorang ahli fisika yang mendalami
taoisme, untuk membangun kembali bangunan ilmu pengetahuan yang
sudah terlanjur dirongrong oleh relativisme dan skeptisisme (Bagir,
2005). Skeptisisme terhadap metafisika dan filsafat dipelopori oleh Rene
Descartes dan William Ockham.
Filsafat Islam
Filsafat Islam ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa.
Sebab dilihat dari sejarah, para filosof dari tradisi ini sebenarnya bisa
dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat (Yunani).
Terdapat dua pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam
terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga
saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar
filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang
disalin oleh St. Agustine (354–430 M), yang kemudian diteruskan oleh
Anicius Manlius Boethius (480–524 M) dan John Scotus. Pendapat
kedua menyatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat orang-orang
Yunani dari buku-buku filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi.
Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya,
karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge,
Categories, dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi
bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah
menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan
bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan
menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahanterjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam
(Haerudin, 2003).
Majid Fakhri cenderung mengangap filsafat Islam sebagai mata
rantai yang menghubungkan Yunani dengan Eropa modern. Kecenderungan ini
disebut europosentris yang berpendapat filsafat Islam telah berakhir sejak
kematian Ibn Rusyd. Pendapat ini ditentang oleh Henry Corbin dan Louis
Massignon yang menilai adanya eksistensi filsafat Islam. Menurut
Kartanegara (2006) dalam filsafat Islam ada empat aliran yakni:
1. Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan
Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya
ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau
epistimologis adalah menggunakan logika formal yang
berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang
kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni:
Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn
Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din Thusi (w.1274).
2. Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran,
Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Aliran ini memberikan tempat
yang penting bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini
terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya
sebagai satu-satunya realitas sejati (nur al anwar), cahaya di atas
cahaya.
3. Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman
mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional
bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada
hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
4. Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden). Diwakili
oleh seorang filosof syi’ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya
Qawami yang dikenal dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau
yang dikenal dengan Mulla Shadra yaitu seorang filosof yang
berhasil mensintesiskan ketiga aliran di atas. Dalam Islam ilmu merupakan hal yang sangat dianjurkan. Dalam
Al Quran kata al-ilm dan kata-kata jadiannya digunakan lebih 780 kali.
Hadis juga menyatakan mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim.
Dalam pandangan Allamah Faydh Kasyani dalam bukunya Al Wafi: ilmu
yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah ilmu yang mengangkat
posisi manusia pada hari akhirat, dan mengantarkannya pada pengetahuan
tentang dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, pemimpin Islam,
sifat Tuhan, hari akhirat, dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada
Allah.
Dalam pandangan keilmuan Islam, fenomena alam tidaklah
berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa ilahi. Mempelajari
alam berarti akan mempelajari dan mengenal dari dekat cara kerja Tuhan.
Dengan demikian penelitian alam semesta (jejak-jejak ilahi) akan
mendorong kita untuk mengenal Tuhan dan menambah keyakinan
terhadapnya. Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen
melainkan tanda-tanda Allah SWT. Fenomena alam adalah ayat-ayat
yang bersifat qauniyyah, sedangkan kitab suci ayat-ayat yang besifat
qauliyah. Oleh karena itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi
yang mulia sebagai obyek ilmu.
0 komentar:
Posting Komentar