Di antara nikmat dan karunia Allah yang besar terhadap kita sebagai hamba-Nya adalah diutusnya seorang rosul ke tengah-tengah kita; yang mengajari, membimbing, dan memberi petunjuk ke jalan yang lurus sehingga kita dapat mengabdi kepada-Nya, Rabbul 'ibad, dengan baik dan benar. Allah berfirman: "Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu seorang rosul, yang menjadi saksi terhadapmu." [QS. Al-Muzammil: 15]. "Dialah yang telah mengutus rosul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkannya atas segala agama." [QS. At-Taubah: 33]. Dan Allah juga berfirman, "Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rosul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (as-sunnah) [QS. Al-Jumu'ah: 2].
Segala bentuk ibadah akan terwujud dalam diri seorang hamba manakala memenuhi tiga landasan yang sangat mendasar: adanya hubb (kecintaan), khouf (takut), dan roja` (pengharapan). Orang-orang yang beribadah hanya karena pahala semata tanpa ada kecintaan dan rasa takut kepada-Nya, mereka telah tergolong ke dalam kelompok sesat Jahmiyyyah, sebaliknya orang-orang yang beribadah hingga terlena di dalamnya dengan kecintaan namun tidak ada rasa takut dari siksa-Nya dan mengharap akan pahalaNya, mereka tergolong ke dalam kelompok sesat Sufiyyah. Jadi yang benar adalah hendaknya beribadah kepada Allah dengan kecintaan kepadaNya, mengharap pahalaNya, dan takut akan siksaNya.
EKSISTENSI KHAUF DAN ROJA`
Khauf dan roja` adalah dua ibadah yang sangat agung. Bila keduanya menyatu dalam diri seorang mukmin, maka akan seimbanglah seluruh aktivitas kehidupannya. Bagaimana tidak, sebab dengan khauf akan membawa dirinya untuk selalu melaksanakan ketaatan dan menjauhi perkara yang diharamkan; sementara roja` akan menghantarkan dirinya untuk selalu mengharap apa yang ada di sisi Rabb-nya 'Azza wa Jalla. Pendek kata dengan khauf dan roja` seorang mukmin akan selalu ingat bahwa dirinya akan kembali ke hadapan Sang Penciptanya, disamping ia akan bersemangat memperbanyak amalan-amalan. Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) tuhan mereka, dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat tuhan mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan tuhan mereka (dengan sesuatu apapun), dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya." [QS. Al-Mukminun: 57-61]. 'Aisyah -radhiyallahu 'anha- pernah bertanya kepada Rosulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- apakah mereka itu orang-orang yang meminum khamr, berzina, dan mencuri? Rosulullah menjawab, "Bukan! Wahai putri Ash-Shiddiq. Justru mereka adalah orang-orang yang melakukan shoum, sholat, dan bershodaqah, dan mereka khawatir tidak akan diterima amalannya. Mereka itulah orang-orang yang bergegas dalam kebaikan." [HR. At-Tirmidzi dari 'Aisyah]. Allah juga berfirman, "Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas." [QS. Al-Anbiya': 90].
HAKIKAT KHAUF
Khauf (takut) adalah ibadah hati, tidak dibenarkan khauf ini kecuali terhadap-Nya Subhanahu wa Ta'ala. Khauf adalah syarat pembuktian keimanan seseorang. Allah berfirman: "Sesungguhnya mereka itu tidak lain syaitan-syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman." [QS. Ali Imran: 175].
Apabila khauf kepada Allah berkurang dalam diri seorang hamba, maka ini sebagai tanda mulai berkurangnya pengetahuan dirinya terhadap Rabb-nya. Sebab orang yang paling tahu tentang Allah adalah orang yang paling takut kepada-Nya.
Rasa khauf akan muncul dengan sebab beberapa hal, di antaranya: pertama, pengetahuan seorang hamba akan pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosanya serta kejelekan-kejelekannya; kedua, pembenarannya akan ancaman Allah, bahwa Allah akan menyiapkan siksa atas segala kemaksiatan; ketiga, mengetahui akan adanya kemungkinan penghalang antara dirinya dan taubatnya.
Para ulama membagi khauf menjadi lima macam:
1. Khauf ibadah, yaitu takut kepada Allah, karena Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya dan menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya, memberi kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan menahan dari siapa yang dikehendaki-Nya. Di Tangan-Nya-lah kemanfaatan dan kemudharatan. Inilah yang diistilahkan oleh sebagian ulama dengan khaufus-sirr.
2. Khauf syirik, yaitu memalingkan ibadah qalbiyah ini kepada selain Allah, seperti kepada para wali, jin, patung-patung, dan sebagainya.
3. Khauf maksiat, seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan hal yang diharamkan karena takut dari manusia dan tidak dalam keadaan terpaksa. Allah berfirman, "Sesungguhnya mereka itu tidak lain syaitan-syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman." [QS. Ali Imran: 175].
4. Khauf tabiat, seperti takutnya manusia dari ular, takut singa, takut tenggelam, takut api, atau musuh, atau selainnya. Allah berfirman tentang Musa, "Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya)." [QS. Al-Qashash: 18].
5. Khauf wahm, yaitu rasa takut yang tidak ada penyebabnya, atau ada penyebabnya tetapi ringan. Takut yang seperti ini amat tercela bahkan akan memasukkan pelakunya ke dalam golongan para penakut.
HAKIKAT ROJA`
Adapun roja` secara bahasa artinya harapan/cita-cita; sedangkan menurut istilah ialah bergantungnya hati dalam meraih sesuatu di kemudian hari. Roja` merupakan ibadah yang mencakup kerendahan dan ketundukan, tidak boleh ada kecuali kepada Allah 'Azza wa Jalla. Memalingkannya kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa berupa syirik besar atau pun syirik kecil tergantung apa yang ada dalam hati orang yang tengah mengharap.
Roja (harapan/mengharap) tidaklah menjadikan pelakunya terpuji kecuali bila disertai amalan. Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Al-Baqarah: 218]. Allah juga berfirman, "Barang siapa mengharap perjumpaan dengan tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada tuhannya." [Al-Kahfi: 110].
Berkata Ibnul Qoyyim dalam "Madarijus-Salikin": "Orang-orang yang mengerti telah bersepakat bahwa roja` tidak akan sah kecuali jika dibarengi dengan amalan. Oleh karena itu, tidaklah seseorang dianggap mengharap apabila tidak beramal". Dengan demikian, roja` kepada Allah akan tercapai dengan beberapa hal, diantaranya: pertama, senantiasa menyaksikan karunia-Nya, kenikmatan-Nya, dan kebaikan-kebaikan-Nya terhadap hamba; kedua, jujur dalam mengharap apa yang ada di sisi Allah dari pahala dan kenikmatan; ketiga, membentengi diri dengan amal shaleh dan bergegas dalam kebaikan.
Ibnul Qayyim -rahimahullah- membagi roja` menjadi tiga bagian, dua di antaranya roja`,yang benar dan terpuji pelakunya, sedang yang lainnya tercela. Roja` yang menjadikan pelakunya terpuji, pertama: seseorang mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah, di atas cahaya Allah, ia senantiasa mengharap pahalaNya; kedua: seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat darinya, dan ia senantiasa mengharap ampunan Allah, kebaikan-Nya dan kemurahan-Nya. Adapun yang menjadikan pelakunya tercela: seseorang terus-menerus dalam kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah tanpa dibarengi amalan; roja` yang seperti ini hanyalah angan-angan belaka, sebuah harapan yang dusta.
KESIMPULAN
Para pembaca -semoga Allah menjagamu- roja` menuntut adanya khauf dalam diri seorang mukmin, yang dengan itu akan memacunya untuk melakukan amalan-amalan sholeh; tanpa disertai khauf, roja` hanya akan bernilai sebuah fatamorgana. Sebaliknya khauf juga menuntut adanya roja`; tanpa roja` khauf hanyalah berupa keputusasaan tak berarti. Jadi, khauf dan roja` harus senantasa menyatu dalam diri seorang mukmin dalam rangka menyeimbangkan hidupnya untuk tetap istiqomah melaksanakan perintahNya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, mengharap pahala dan takut akan siksa-Nya. Keduanya (khauf dan roja`) ibarat dua sayap burung yang dengannya ia dapat menjalani kehidupannya dengan sempurna.
Wal 'ilmu 'indallah.
Ditulis oleh Abu Hamzah Al-Atsary.
Sumber bacaan:
1. Al-Quranul Karim
2. Syarh Tsalatsatul Ushul
3. Taisirul Wushul ilaa Nailil ma'mul
4. Al-Madkhal Lid-dirosatil Aqidah Al-Islamiyyah
5. Madarijus-salikin
Segala bentuk ibadah akan terwujud dalam diri seorang hamba manakala memenuhi tiga landasan yang sangat mendasar: adanya hubb (kecintaan), khouf (takut), dan roja` (pengharapan). Orang-orang yang beribadah hanya karena pahala semata tanpa ada kecintaan dan rasa takut kepada-Nya, mereka telah tergolong ke dalam kelompok sesat Jahmiyyyah, sebaliknya orang-orang yang beribadah hingga terlena di dalamnya dengan kecintaan namun tidak ada rasa takut dari siksa-Nya dan mengharap akan pahalaNya, mereka tergolong ke dalam kelompok sesat Sufiyyah. Jadi yang benar adalah hendaknya beribadah kepada Allah dengan kecintaan kepadaNya, mengharap pahalaNya, dan takut akan siksaNya.
EKSISTENSI KHAUF DAN ROJA`
Khauf dan roja` adalah dua ibadah yang sangat agung. Bila keduanya menyatu dalam diri seorang mukmin, maka akan seimbanglah seluruh aktivitas kehidupannya. Bagaimana tidak, sebab dengan khauf akan membawa dirinya untuk selalu melaksanakan ketaatan dan menjauhi perkara yang diharamkan; sementara roja` akan menghantarkan dirinya untuk selalu mengharap apa yang ada di sisi Rabb-nya 'Azza wa Jalla. Pendek kata dengan khauf dan roja` seorang mukmin akan selalu ingat bahwa dirinya akan kembali ke hadapan Sang Penciptanya, disamping ia akan bersemangat memperbanyak amalan-amalan. Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) tuhan mereka, dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat tuhan mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan tuhan mereka (dengan sesuatu apapun), dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya." [QS. Al-Mukminun: 57-61]. 'Aisyah -radhiyallahu 'anha- pernah bertanya kepada Rosulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- apakah mereka itu orang-orang yang meminum khamr, berzina, dan mencuri? Rosulullah menjawab, "Bukan! Wahai putri Ash-Shiddiq. Justru mereka adalah orang-orang yang melakukan shoum, sholat, dan bershodaqah, dan mereka khawatir tidak akan diterima amalannya. Mereka itulah orang-orang yang bergegas dalam kebaikan." [HR. At-Tirmidzi dari 'Aisyah]. Allah juga berfirman, "Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas." [QS. Al-Anbiya': 90].
HAKIKAT KHAUF
Khauf (takut) adalah ibadah hati, tidak dibenarkan khauf ini kecuali terhadap-Nya Subhanahu wa Ta'ala. Khauf adalah syarat pembuktian keimanan seseorang. Allah berfirman: "Sesungguhnya mereka itu tidak lain syaitan-syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman." [QS. Ali Imran: 175].
Apabila khauf kepada Allah berkurang dalam diri seorang hamba, maka ini sebagai tanda mulai berkurangnya pengetahuan dirinya terhadap Rabb-nya. Sebab orang yang paling tahu tentang Allah adalah orang yang paling takut kepada-Nya.
Rasa khauf akan muncul dengan sebab beberapa hal, di antaranya: pertama, pengetahuan seorang hamba akan pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosanya serta kejelekan-kejelekannya; kedua, pembenarannya akan ancaman Allah, bahwa Allah akan menyiapkan siksa atas segala kemaksiatan; ketiga, mengetahui akan adanya kemungkinan penghalang antara dirinya dan taubatnya.
Para ulama membagi khauf menjadi lima macam:
1. Khauf ibadah, yaitu takut kepada Allah, karena Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya dan menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya, memberi kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan menahan dari siapa yang dikehendaki-Nya. Di Tangan-Nya-lah kemanfaatan dan kemudharatan. Inilah yang diistilahkan oleh sebagian ulama dengan khaufus-sirr.
2. Khauf syirik, yaitu memalingkan ibadah qalbiyah ini kepada selain Allah, seperti kepada para wali, jin, patung-patung, dan sebagainya.
3. Khauf maksiat, seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan hal yang diharamkan karena takut dari manusia dan tidak dalam keadaan terpaksa. Allah berfirman, "Sesungguhnya mereka itu tidak lain syaitan-syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman." [QS. Ali Imran: 175].
4. Khauf tabiat, seperti takutnya manusia dari ular, takut singa, takut tenggelam, takut api, atau musuh, atau selainnya. Allah berfirman tentang Musa, "Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya)." [QS. Al-Qashash: 18].
5. Khauf wahm, yaitu rasa takut yang tidak ada penyebabnya, atau ada penyebabnya tetapi ringan. Takut yang seperti ini amat tercela bahkan akan memasukkan pelakunya ke dalam golongan para penakut.
HAKIKAT ROJA`
Adapun roja` secara bahasa artinya harapan/cita-cita; sedangkan menurut istilah ialah bergantungnya hati dalam meraih sesuatu di kemudian hari. Roja` merupakan ibadah yang mencakup kerendahan dan ketundukan, tidak boleh ada kecuali kepada Allah 'Azza wa Jalla. Memalingkannya kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa berupa syirik besar atau pun syirik kecil tergantung apa yang ada dalam hati orang yang tengah mengharap.
Roja (harapan/mengharap) tidaklah menjadikan pelakunya terpuji kecuali bila disertai amalan. Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Al-Baqarah: 218]. Allah juga berfirman, "Barang siapa mengharap perjumpaan dengan tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada tuhannya." [Al-Kahfi: 110].
Berkata Ibnul Qoyyim dalam "Madarijus-Salikin": "Orang-orang yang mengerti telah bersepakat bahwa roja` tidak akan sah kecuali jika dibarengi dengan amalan. Oleh karena itu, tidaklah seseorang dianggap mengharap apabila tidak beramal". Dengan demikian, roja` kepada Allah akan tercapai dengan beberapa hal, diantaranya: pertama, senantiasa menyaksikan karunia-Nya, kenikmatan-Nya, dan kebaikan-kebaikan-Nya terhadap hamba; kedua, jujur dalam mengharap apa yang ada di sisi Allah dari pahala dan kenikmatan; ketiga, membentengi diri dengan amal shaleh dan bergegas dalam kebaikan.
Ibnul Qayyim -rahimahullah- membagi roja` menjadi tiga bagian, dua di antaranya roja`,yang benar dan terpuji pelakunya, sedang yang lainnya tercela. Roja` yang menjadikan pelakunya terpuji, pertama: seseorang mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah, di atas cahaya Allah, ia senantiasa mengharap pahalaNya; kedua: seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat darinya, dan ia senantiasa mengharap ampunan Allah, kebaikan-Nya dan kemurahan-Nya. Adapun yang menjadikan pelakunya tercela: seseorang terus-menerus dalam kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah tanpa dibarengi amalan; roja` yang seperti ini hanyalah angan-angan belaka, sebuah harapan yang dusta.
KESIMPULAN
Para pembaca -semoga Allah menjagamu- roja` menuntut adanya khauf dalam diri seorang mukmin, yang dengan itu akan memacunya untuk melakukan amalan-amalan sholeh; tanpa disertai khauf, roja` hanya akan bernilai sebuah fatamorgana. Sebaliknya khauf juga menuntut adanya roja`; tanpa roja` khauf hanyalah berupa keputusasaan tak berarti. Jadi, khauf dan roja` harus senantasa menyatu dalam diri seorang mukmin dalam rangka menyeimbangkan hidupnya untuk tetap istiqomah melaksanakan perintahNya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, mengharap pahala dan takut akan siksa-Nya. Keduanya (khauf dan roja`) ibarat dua sayap burung yang dengannya ia dapat menjalani kehidupannya dengan sempurna.
Wal 'ilmu 'indallah.
Ditulis oleh Abu Hamzah Al-Atsary.
Sumber bacaan:
1. Al-Quranul Karim
2. Syarh Tsalatsatul Ushul
3. Taisirul Wushul ilaa Nailil ma'mul
4. Al-Madkhal Lid-dirosatil Aqidah Al-Islamiyyah
5. Madarijus-salikin
Tanya: Assalamu'alaikum wr. wb. Saya ingin bertanya tentang: Bagaimana hukum merayakan ulang tahun atau milad? <0818688***>
Jawab: Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Telah diketahui bersama bahwa tidak didapatkan dalam agama kita perayaan ulang tahun, selain apa yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rosul-Nya yaitu perayaan Iedul Fitri, Iedul Ad-ha, dan Iedul Jum'ah. Selain dari itu, baik perayaan yang diadakan tiap tahun, tiap bulan, atau pun minggu atau juga perayaan yang bertepatan dengan hari kelahiran adalah bid'ah. Rosulullah dan para sahabatnya tidak pernah melakukannya, sementara Rosulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda, "Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara dalam urusan kami (agama) yang bukan darinya maka tertolak." [HR. Al-Bukhari, Muslim, dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha].
Disamping termasuk perkara bid'ah, perayaan ulang tahun atau milad ini juga merupakan perbuatan tasyabbuh (meniru) kaum kuffar, sedangkan kita diharamkan untuk meniru mereka. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) "Raa'ina" tetapi katakanlah "Unzhurna" dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. [QS. Al-Baqarah: 104]. Berkata Ibnu Katsir rahimahullah: "Allah melarang hamba-hambaNya yang beriman untuk meniru orang-orang kafir dalam ucapan-ucapannya dan perbuatan-perbuatannya." [Tafsir Al-Quranul Adhim: 1/169, cet. Daarul Fikr]. Dan dalam hadits yang datang dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa yang meniru suatu kaum, maka ia tergolong dari mereka." [HR. Abu Dawud, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/448]. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: "Hadits ini paling tidak menunjukkan keharaman meniru mereka (kaum kuffar)" [Iqtidho' Shirathal mustaqim fi Mukhalafati Ashabil jahiim, hal.83 cet. daarul Fikr]. Demikian, wal 'ilmu 'indallah.
Jawab: Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Telah diketahui bersama bahwa tidak didapatkan dalam agama kita perayaan ulang tahun, selain apa yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rosul-Nya yaitu perayaan Iedul Fitri, Iedul Ad-ha, dan Iedul Jum'ah. Selain dari itu, baik perayaan yang diadakan tiap tahun, tiap bulan, atau pun minggu atau juga perayaan yang bertepatan dengan hari kelahiran adalah bid'ah. Rosulullah dan para sahabatnya tidak pernah melakukannya, sementara Rosulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda, "Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara dalam urusan kami (agama) yang bukan darinya maka tertolak." [HR. Al-Bukhari, Muslim, dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha].
Disamping termasuk perkara bid'ah, perayaan ulang tahun atau milad ini juga merupakan perbuatan tasyabbuh (meniru) kaum kuffar, sedangkan kita diharamkan untuk meniru mereka. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) "Raa'ina" tetapi katakanlah "Unzhurna" dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. [QS. Al-Baqarah: 104]. Berkata Ibnu Katsir rahimahullah: "Allah melarang hamba-hambaNya yang beriman untuk meniru orang-orang kafir dalam ucapan-ucapannya dan perbuatan-perbuatannya." [Tafsir Al-Quranul Adhim: 1/169, cet. Daarul Fikr]. Dan dalam hadits yang datang dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa yang meniru suatu kaum, maka ia tergolong dari mereka." [HR. Abu Dawud, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/448]. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: "Hadits ini paling tidak menunjukkan keharaman meniru mereka (kaum kuffar)" [Iqtidho' Shirathal mustaqim fi Mukhalafati Ashabil jahiim, hal.83 cet. daarul Fikr]. Demikian, wal 'ilmu 'indallah.
0 komentar:
Posting Komentar