This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
Jumat, 04 Oktober 2013
SUKSESI PEMILIHAN KEPEMIMPINAN KHULAFAUR RASYIDIN
SUKSESI PEMILIHAN KEPEMIMPINA
KHULAFA AR-RASYIDIN
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata kuliah
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (SPPI)
Dosen Pengampu : Dr. H. Ahmad Asmuni, MA
Oleh :
TETENG ABDUL GHONI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)SYEKH NURJATI
CIREBON
2013
A.
Pendahuluan
Nabi
Muhammd SAW wafat, sangatlah mengejutkan kaum muslimin pada saat itu, akan tetapi
pada sesunguhnya sudah ada tanda-tanda bahwa kematian akan segera datang
menjemput beliau, yaitu Nabi mengalami ganguan kesehatan yang cukup lama
sekurang-kurangnya selama tiga bulan, berupa sakit demam. Nabi Muhammad SAW pun
merasakan bahwa ajalnya akan segera tiba.
Nabi
Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan
beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau
nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk
menetuukannya.[1]
Aturan-aturan
yang jelas tentang pengganti Nabi tidak ditemukan, yang ada hanyalah sebuah
mandat yang diterima Abu Bakar menjelang wafatnya Nabi untuk menjadi badal imam
sholat. Suatu yang menjadi tanda Tanya terhadap mandat tersebut, adakah suatu
pertanda Nabi menunjuk Abu Bakar atau Tidak[2].
Dengan
tidak adanya pedoman-pendoman atau aturan-aturan yang ditemukan sebagai dasar pengganti penerus kepemimpinan
Nabi, maka suasana politik menjadi sangat tegang.
Masalah suksesi mengakibatkan suasana politik
umat Islam menjadi sangat tegang. Padahal semasa hidupnya, Nabi bersusah payah
dan berhasil membina persaudaraan sejati yang kokoh di antara sesame
pengikutnya, yaitu antara kaum Muhajirin dan Ansar. Dilambatkanya pemakaman
jenazah beliau menggamabarkan betapa gawatnya krisis suksesi itu. Ada tiga
golongan yang bersaing keras dalam perebutan kepemimpinan ini; Ansar, Muhajirin dan keluarga Hasyim.[3]
B.
Pembahasan
1.
ABU
BAKAR ASH SHIDDIQ (11-13 H/632-634 M)
Abu
Bakar As-Shiddiq, nama lengkapnya ialah Abu Bakar Abdullah bin Abi Quhafa bin
Utsman bin Amr bin Masud din Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin
Fir At-Taimi Al-qurasy, berarti sislsilahnya dengan Nabi bertemu di Ka’ab. Di
lahirkan di lingkungan suku yang sangat berpengaruh dan suku yang banyak
melahirkan tokoh-tokoh besar. Ayahnya bernama utsman (Abu Kuhafah) bin Amr bin
Ka’ab bin Sa’ad bin Laym bin Mun’ah bin Ka’ab bin Luay, berasal dari suku
Quraisy, swdangkan ibunya bernama Ummu al-Khair binti Sahr bin Ka’ab bin
Sa’adbin Taym bin Murrah. Garis keturunannya bertemu pada neneknya, yaitu Ka’ab
bin Sa’ad.[4]
Abu Bakar merupakan orang yang pertama kali
masuk Islam ketika Islam mulai di dakwakan., ia tidak segan untuk menumpahkan
segenap jiwa dan harta untuk Isalm. Dijuluki Ash-shiddiq karena ia dengan
segera membenarkan nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ dan Mi’raj.
Seringkali mendampingi Rasulullah
di saat-saat penting atau jika berhalangan, Rasulullah mempercayainya sebagai
pengganti untuk menangani tugas-tugas keagamaan dan atau mengurusi persoalan-persoalan
aktual di Madinah.[5] Ia
juga pernah ditunjuk untuk mengimami shalat ketika Nabi sakit. Nabi Muhammad
SAW, pun wafat tak lama setelah kejadian
tersebut.[6]
Karena tidak ada pesan mengenai siapa pengganti di kemudian hari, pada saat
jenazah Nabi belum dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Ansar berkumpul di
balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memussyawarkan siapa yang akan menjadi
pemimpin.[7]
Dalam
pertemuan tersebut kaum Ansar mencalonkan Sa’ad bin Ubadah, pemuka Khazraj,
sebagai pemimpin umat. Sedangkan kaum Muhajirin mendesak Abu Bakar sebagai
calon mereka karena dipandang paling layak untuk menggantikan nabi. Di pihak
lain terdapat kelompok orang yang mneghendaki Ali bin Abi Thalib, karena nabi
telah menunjuk secara terang-terangan sebagai penggantinya, disamping Ali
adalah menantu dan kerabat nabi.[8]
Dalam
pertemuan atau musyawarah tersebut, sebelum kaum Muhajirin datang, golongan Khijraz
telah sepakat mencalonkan salad bin Ubadah, sabagi pengganti rosul. Akan
tetapi, suku Aus belum menjawab atas pandangan tersebut, sehingga terjadilah
perdebatan di antara mereka dan pada akhirnya, Sa’ad bin Ubadah yang tidak
menginginkan adanya perpecahan mengatakan bahwa ini merupakan awal perpecahan.
Melihat situasi yang memanas, Abu Ubadah mengajak kaum Ansar agar bersikap
tenang dan toleran, kemudian Basyir bin Sa’ad Abi An-Nu bin Basyir berpidato
dengan mengatakan agar tidak memperpanjang masalah ini.[9] Dalam keadaan yang sudah tenang, ada tiga
orang melakukan tidakan tegas yaitu; Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan Abu
Ubaidah din Jarrrah yang dalam melakukan semacam kudeta (caup d’etat)
terhadap kelompok, memaksa Abu Bakar sendiri sebagai pengganti Nabi.[10] Kemudian
Abu Bakar dipersilahkan untuk berberpidato, dalam pidatonya Abu Bakar
menyebutkan ini Umar dan Abu Ubaidah, siapa yang kamu kehendaki diantara mereka
berdua, maka bai’atlah. Mendengar apa yang disampaikan pidatonya Abu Bakar, Baik
Umar maupun Abu Ubaidah merasa keberatan
untuk dibai’at. Namu keduanya sepakat dengan mempertimbangkan pentunjuk Abu
Bakar sebagai pengganti Rasul dalam imam, ini mengisyaratkan Abu Bakarlah yang lebih berhak menjadi pengganti Rasulullah SAW.
Sebelum keduanya membai’at Abu Bakar, Basyir bin Sa’ad mendahuluinya kemudian
diikuti Umar dan Abu Ubaidah dan diikuti secara serentak oleh hadirin.[11]
Dengan semangat Ukhuwah
Islamiyah,
terpilihlah Abu Bakar. Ia adalah orang Quraisy yang merupakan pilihan ideal,
karena sejak pertama menjadi pendamping nabi, bahkan sahabat yang paling
memahami risalah Muhaammmad SAW, bahkan merupakan kelompok as-sabiqun al
awwalun[12]
yang memperoleh gelar Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Sehari
setelah pengangkatanya, Abu Bakar berpidato
“wahai manusia! Aku telah diangkat untuk mengendalikanurusanmu,
padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu. Maka jikalau aku dapat
menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutilah) aku, tetapi jika aku
bersalah, maka luruskanlah! Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah
sampai aku dapat mengambil hak dari padanya. Sedangkan orang yang kamu lihat
lemah, aku pandang kaut sampai aku dapat mengembalikan haknya kepadanya. Maka
hendaklah kamu taat kepadaku selam aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun
bila tidak mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak perlu mentaatiku”[13]
Dari
pidato yang disampaikan oleh Abu Bakar, itu menegaskan totalitas kperibadian
dan komitmennya terhadap nilai-nilai islam dan strategi meraih keberhasilan
tertinggi bagi umat sepeninggal beliau.
Terpilihnya
Abu Bakar telah membangun kembali kesadaran dan tekad untuk bersatu melanjutkan
tugas mulia Nabi; meralisasikan kiinginan dan cita-cita Nabi yang belum
terlaksana.
A. UMAR BIN KHATHTHAB (13-23 H/634-644 M)
Umar ibn Al-Khaththab
yang memiliki nama lengkap Umar bi Kaththab bin Nufail bin Abd Al-Uzza bin
Abdillah bin Qart bin Razali bin ‘adi bin Ka’ab bin Lu’ay . dilahirkan di
Mekkah dari keturunan Qurasy yang
terpandang dan terhormat. Ia dilahirkan empat tahun sebelum kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Ia adalah seorang yang berbudi luhur, fasih dan adil serta
pemberani. Umar masuk Islam pada tahun kelima setelah kenabian, dan menjadi
salah satu sahabat terdeka Nabi, serta dijadiakn tempat rujukan oleh nabi
mengenai hal-hal yang penting. Ia dapat memecahkan masalah yang rumit tentang
siapa yang berhak menggantikan Rasulullah dalam memimpin umat setelah wafatnya
Rasulullah SAW. Dengan memilih dan membai’at Abu Bakar sebagai khalifah Rasulullah
sehingga ia mendapat penghormatan yang tinggi dan dimintai nasehat serta
menjadi tangan kanan khalifah yang baru.[14]
Ketika Abu Bakar
sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia menunjuk Umar ibn Al-Khaththab sebagai
penggantinya. Kendatipun hal ini merupaka perbuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, tampaknya
penunjukan ini bagi Abu Bakar merupakan hal yang wajar untuk dilakukan. Adapun
yang menjadi pertimbangan Abu Bakar menujuk Umar menjadi khalifah adalah :
1.
Kekhawatiran
peristiwa yang sangat menegangkan dib alai pertemuan Bani Saidah yang nyaris
menyeret umat Islam kejurang perpecahan akan terulang kembali;
2.
Kaum Ansar dan
Kaum Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak menjadi khalifah;
3.
Umat Islam pada
saat itu baru saja menumpas kaum murtad dan pembangkang;
4.
Sebagian pasukan mujahidin sedang bertempur di luar
kota Madinah melawan tentara Persia dan romawi.
Abu
Bakar dalam menunjuk Umar, terlebih dahulu ia bermusyawarah atau berkonsultasi
dengan para pemuka sahabat antara lain Abdul Rahman bin Auf, Utsman bin Affan
dan Asid bin Hadhir, seorang tokoh Ansar. Konsultasi. Konsultasi ini
menghasilkan persetujuan atas dipilihnya Umar secara objektif.
Hasil
musyawarah dan konsultasi dengan beberapa orang sahabat senior itu masih
ditawarkan kepada kaum muslimin yang sedang kumpul di Masjid Nabawi.
Dalam
pertemuan tersebut kaum muslimin menerima dan menyetujui orang yang telah
dicalonkan oleh Abu Bakar. Setelah Abu Bakar mendapatkan persetujuan kaum
muslimin, ia memanggil Utsman bin Affan untuk menuliskan teks pengangkatan Umar
(bai’at Umar).[15]
Pada
awalnya terdapat berbagai keberatan mengenai rencana pengangkatan Umar, sahabat
Thalhah misalnya, segera menemui Abu Bakar untuk menyampaikan rasa kecewanya.
Namun karena Umar adalah orang yang tepat untuk menduduki kursi kekhalifahan,
maka pengangkatan Umar mendapatkan persetujuan dan bait dari semua umat muslim.
Umar
ibn Khaththab menyebut dirinya Khalifah Khalifati Rasullilah (pengganti dari
pengganti Rasullah) dan ia mendapat gelar Amiru Al-Mukmininin (Komandan
orang-orang beriman)[16]
Sebagaimana
Abu Bakar , Umat ibn Khaththab setelah di bai’at atau di lantik menyampaikan
pidato penerimaan jabatan di Masjid Nabawi di hadapan kaum muslimin. Adapun
pidatonya sebagai berikut ;
“Aku
telah dipilih menjadi khalifah, kerendahan hati Abu Bakar selaras dengan
jiwanya yang terbaik diantara kamu dan lebih kuat terhadp kamu dan juga lebih
mampu memikul urusan kamu yang penting-penting. Aku diangkat dalam jabata ini
tidak sama dengan beliau. Andaikan aku tahu ada orang yang lebih kuat untuk
memikul jabatan ini, maka aku memberikan leherku untuk dipotong lebih aku sukai
dari pada memikul jabata ini. Sesungguhnya Allah menguji kamu dengan aku dan
mengujiku dengan kamu dan membiarkan aku memimpin kaum sesudah sahabatku. Maka
demi Allah, bila ada sesuatu urusan dari urusan kamu dihadapkan kepadaku, maka
jangan urusan ini diurus oleh seseorang, selain aku dan jangan seseorang menjauhkan
dari aku, sehingga aku tidak dapat memilih orang yang benar dan memegang
amanah. Jika mereka berbuat baik, tentu aku berbuat baik dan jika mereka
berbuat jahat, maka tentu aku akan menghukum merek”[17]
Dari pidato Umar
tersebut mengambarkan jabatan khalifah adalah tugas yang sangat berat sebagai
amanah dan ujian. Antara pemimpin dan yang di pimpin harus terjalin hubungan
timbale balik yang seimbang dalam melaksanakan tanggung jawab itu, setiap
urusan harus diurus dan diselesaikan oleh khalifah dengan baik. Kahlifah harus
memilih orang-orang yang benar dan bisa memegang amanah untuk membantunya. Hukum
harus ditegakkan terhadap pelaku tampa memandang dari pihak mana.[18]
B. UTSMAN BIN AFFAN (23-36 H/644-656 M)
Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah
bin Abdul Manaf dari suku Quraisy. Lahir
pada tahun 576 M, enam tahun setelah penyerangan Kabah oleh pasukan bergaja
atau enam tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ibu Khalifah Utsman bin
Affan adalah Urwy bin Kuraiz bin Rabi’ah bin habib bin Abi Asy-Syams bin Abdul
Manaf. Utsman bin Affan masuk Islam pada usia 30 Tahun atas ajakan Abu Bakar.
Ia dijuluki Dzun nurain, karena menikahi dua putrid Nabi Muhammad SAW, secara berurutan
setelah yang satu meninggal, yakni ruqayyah dan Ummu Kulsum. Khalifah Utsman
bin Affan ikut hijrah bersama istrinya ke Abesinia dan termasuk Muhajirin
pertama ke Yatsrib. Ia termasuk orang yang saleh ritul dan sosial. Siang hari
ia gunakan untuk saum dan malamnya untuk membaca Al-Qur’an.[19]
Seperti halnya Umar, Utsman dipilih atas penunjukan langsung
diangkat menjadi melalui proses pemilihan. Bedanya Umar dipilih atas penunjukan
langsung sedangkan Utsman atas penunjukan tidak langsung, yaitu melewati badan
syura yang dibentuk oleh Umar menjelang wafatnya. Sebelum meninggal, Umar telah
memanggil tiga calon penggantinya, yaitu Utsman, Ali, dan Sa’ad bin Abi
Waqqash. Dalam pertemuan dengan mereka secara bergantian, Umar berpesan agar
penggantinya tidak mengangkat kerabat sebagai pejabat. Di samping itu, Umar
telah membentuk dewan formatur yang bertugas memilih penggantinya kelak. Dewan
formatur yang dibentuk Umar berjumlah 6 orang. Mereka adalah Ali, Utsman, Sa’ad
bin Abi Waqqash, Abdul Ar-Rohman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin
Ubaidillah. Di samping itu, Abdullah bin Umar dijadikan anggota tetapi tidak
memiliki hak suara.[20]
Mekanisme pemilihan khalifah ditentukan sebagai berikut:
1.
Yang berhak
menjadi khalifah adalah yang dipilih oleh anggota formatur dengan suara
terbanyak;
2.
Apabila suara terbagi secara berimbang,
Abdullah bin Umar yang berhak menentukannya;
3.
Apabila campur
tangan Abdullah bin Umar tidak diterima, calon yang dipilih oleh Abdul
Ar-Rahman bin Auf harus diangkat menjadi khalifah;
4.
Kalau ada yang
masih menentang, penentang tersebut hendaknya dibunuh.
Langkah yang ditempuh Abdul Ar-Rahman setelah Umar wafat adalah
meminta pendapat kepada anggota formatur secara terpisah untuk membicarakan
jalan yang tepat untuk diangkat menjadi khalifah. Hasilnya adalah muncul dua
kandidat khalifah yaitu Utsman dan Ali. Ketika diadakan penjajagan suara di
luar sidang formatur yang dilakukan oleh Abdul Ar-Rahman, terjadi silang
pemilihan Ali dipilih oleh Utsman dan Utsman dipilih oleh Ali. Di samping itu
Zubair dan Sa’ad bin Abi Waqqash mendukung Utsman. Sementara Thalhah tidak
ditanya karena berada di luar Madinah sehingga tidak sempat dihubungi.
Selanjutnya Abdul Ar-Rahman bermusyawarah dengan masyarakat dan sejumlah
pembesar di luar formatur. Ternyata suara di masyarakat telah terpecah menjadi
dua kubu, yaitu kubu Bani Hasyim yang mendukung Ali dan kubu Bani Umayah yang
mendukung Utsman.
Kemudian, Abdul Ar-Rahman memangil Ali, menayakan kesangupannya
melaksanakan tugasnya berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah Rasul, dan kebijaksanaan
khalifah sebelumnya? Ali menjawab bahwa dirinya berharap sejauh pengetahuan dan
kemampuannya. Abdul Ar-Rahman berganti mengundang Utsman dan mengajukan
pertnyaan yang sama kepadanya. Dengan tegas Utsman menjawab, Ya! Saya sanggup.
Berdasarkan jawaban itu, Abdul Ar-Rahman menyatakan, “Utsman sebagai khalifah
yang ketiga, dan segeralah dilaksanakan bai’at.[21]
C. ALI BIN ABI THALIB (36-41 H/656-661 M)
Ali adalah putra Abi Thalib ibn abdul Muthalib. Ia adlah sepupu
Nabi Muhammad SAW. yang kemudian menjadi menantunya karena menikahi putrid Nabi
Muhammad SAW, Fatimah. Ia telah ikut bersama Rasullulah SAW sejak bahaya
mengancam kota Mekah dan tinggal di rumahnya. Ia masuk Islam ketika usianya
sangat muda dan termasuk orang yang pertama masuk Islam dari golongan pria.
Pada saat Nabi menerima wahyu pertama, menurut Hasan Ibrahim Hasan ali berumur
13 tahun, atau 9 tahun menurut
Mahmudunnasir.[22]
Ali adalah seorang yang pandai dan bijaksana, sehingga menjadi penasehat pada
zaman khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsaman. Ia mengikuti hamper semua
peperangan pada zaman Nabi Muhammad SAW. ia tidak sempat membai’at Abu Bakar,
karena sibuk mengurusi jenazah Rasullulah
SAW, dan keturunan Nabi Muhammad SAW berkelanjutan dari beliau.
Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang
khalifah sebelumnya. Ali dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas
meningglanya Utsman, pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam
Madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunauh Utsaman mendaulat Ali suapya
bersedia dibai’at menjadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum
pemberontak mendatangi para sahabat
senior satu persatu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib,
Thalhah, Zubair, saad bin Waqqas, dan Abdullah bin Umar ibn Khaththab agar
bersedia menjadi kahlifah, namun mereka menolak. Akan tetapi baik kaum
pemberontak maupun kaum Ansar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi
Khalifah, namun ali menolak. Sebab, ia menghendaki agar urusan itu diselesaikan
melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior
terkemuka. Akan tetapi, setelah masaa rakyat mengemukakan bahwa umat islam
perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar,
akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.
Ia dibai’at oleh mayoritas rakyat dari Muhajirin dan Ansar serta
para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan zubair, tetapi ada beberapa orang
sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin Khaththab, Muhammad bin Maslamah,
Sa’ad bin Waqqas, Hasan bin Tsabit dan Abdullah bin salam yang waktu itu berada
di madinah tidak mau ikut membai’at Ali.
Setelah Ali bin Abi Thalib dibai’at menjadi khalifah di Masjid
Nabawi, ia menyampaikan pidato. Adapun petikan pidatonya sebagai berikut ;
“Wahai manusia,
kamu telah membai’at saya sebagaiman kamu telah melakukan tehadap
khalifah-khalifah yang dulu dari saya. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh
pilihan. Akan tetapi, jika pilihan telah jatuh, pennolakan tidak boleh lagi.
Imam harus kuat, teguh, dan rakyat harus tunduk dan patuh. Bai’at terhadap diri
saya ini adalah bai’at yang merata dan umum. Barang siapa yang mungkir darinya,
terpisalah dia dari agama Islam.”[23]
D.
Analisis
Dalam
suksesi pemilihan kepemimpinan Khulafa Ar-Rosyidin, secara keseluruhan dipilih
secara aklamasi (penunjukan lansung), kecuali Utsman bin Affan di tunjuk secara
tidak lansung karena melewati badan syura. Hal ini, merupakan implementasi yang
optimal terhadap prinsip musyawarah, oleh karena mendapat persetujuan seluruh
umat Islam.
Proses
penunjukan pemilihan kepemimpinan Khulafa Ar-Rosyidin berdasarkan ; senioritasa, keilmuan, pengabdian, pengorbannya
membela ajaran Islam, kesalihan, kesedehanaan, keadilan dan tanggung jawab.
Priodesasi
(massa Jabatan) dari khalifah yang satu kepada khalifah yang lain tidak ada
aturan secara tertulis, sehingga perpindahan kepemimpinan kekhalifahan
menimbulkan perselisihan pendapat yang mengarah pada perpecahan di kalangan
umat Islam. Tidak terbatasnya massa kepemimpinan kekhalifahan menimbulkan
terjadinya tuduhan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) seperti pada
pemerintahan Utsman bin Affan.
[1]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta; Penerbit PT Raja
Grafindo Persada, 2000) hlm 35
[2]
Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung; Penerbit CV Pustaka
Setia, 2008) hlm 68 kutipan dari S. Khuda Bakhsh,Politik Islam. Delhi;
Idarah Al-Adabiy, t.th, hlm 11
[3]
Samsul Munir Amin, sejarah Peradaban Islam; (Jakarta; Penerbit
AMZH,2010) hlm 92 dikutip dari Amin said,Nasy’atuld Daulat Al-Islamiyah,
Isa Al-Halabi, Mesir t,t hlm 193. Syed Mahmudunnasir,op,cit hlm 80
[4]
Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung; Penerbit CV Pustaka
Setia, 2008) hlm 67 dikutip M Rida, Abu Bakar ash-shiddiq awalu al-Khulafa
Ar-Rasyidin. Beirut; Dar Al-Fikr,1983, hlm 7-8
[5]
Samsul Munir Amin, sejarah Peradaban Islam; (Jakarta; Penerbit
AMZH,2010) hlm 93
[6]
Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung; Penerbit CV Pustaka
Setia, 2008) hlm 68
[7]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta; Penerbit PT Raja
Grafindo Persada, 2000) hlm 35
[8] Ali
Mufrodi,Islam di Kawasan Kebudayaan Arab,(Jakarta: Penerbit Logos,1997)
hlm 45
[9]
Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung; Penerbit CV Pustaka
Setia, 2008) hlm 68
[10]
Samsul Munir Amin, sejarah Peradaban Islam; (Jakarta; Penerbit
AMZH,2010) hlm 92
[11] Dedi
supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung; Penerbit CV Pustaka Setia,
2008) hlm 69
[12]
Secara kharfiyah orang-orang pertama masuk islam
[13]
Samsul Munir Amin, sejarah Peradaban Islam; (Jakarta; Penerbit AMZH,2010)
hlm 92 dikutip dari Ibnu Hisyam, Sirah Ibn Hisyam, Jilid IV, Mesir;
Matba’ah Mustafa Al-Babi Al-Halabi wa Awladuhu, hlm340-341
[14]
Samsul Munir Amin, sejarah Peradaban Islam; (Jakarta; Penerbit
AMZH,2010) hlm 98
[15]
Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung; Penerbit CV Pustaka
Setia, 2008) hlm 79
[16]
Samsul Munir Amin, sejarah Peradaban Islam; (Jakarta; Penerbit
AMZH,2010) hlm 99 dan Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta;
Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2000) hlm 35
[17]
Abbas Mahmoud al-Akkad, Kecemerlangan Khalifah Umar bin Khatthab,Terj,
Bustani A. Gani dan Jaenal Abidin Ahmad, (Jakarta; Penerbit Bulan Bintang 1978)
hlm 152
[18]
Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung; Penerbit CV Pustaka
Setia, 2008) hlm 79
[19] Samsul
Munir Amin, sejarah Peradaban Islam; (Jakarta; Penerbit AMZH,2010) hlm
104 dan Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung; Penerbit CV
Pustaka Setia, 2008) hlm 79
[20]
Samsul Munir Amin, sejarah Peradaban Islam; (Jakarta; Penerbit
AMZH,2010) hlm 104 dan Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,
(Bandung; Penerbit CV Pustaka Setia, 2008) hlm 87 dan Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta; Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2000) hlm 37
[21]
Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung; Penerbit CV Pustaka
Setia, 2008) hlm 88
[22]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam (Terj dari Islamic
History and Culture.Penerjemah Djahjan Humam) Yogyakarta Kota Kembang dan
Mahmud, The Story of Islam. (London; Okford university Press
[23] De
Suyuti Pulungan, fiqh siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta;
Rajawali Press, 1994)